Salah satu musibah besar yang menimpa kaum muslimin dewasa
ini -karena ketidakpedulian mereka terhadap urusan agama dan sibuk dengan
urusan dunia- adalah banyaknya kaum muslimin yang terjerumus ke dalam hal-hal
yang diharamkan Allah Ta’ala. Hal ini bisa terjadi akibat
sedikitnya pemahaman mereka tentang ajaran agama Islam yang hanif ini.
Jurang keharaman terdalam yang mereka masuki yaitu lembah
hitam kemusyrikan. Perbuatan dosa yang paling besar ini pun begitu samar bagi
kebanyakan manusia karena kebodohan mereka dan rajinnya setan dalam meyesatkan
manusia. Sebagaimana yang dikisahkan Allah Ta’ala tentang
sumpah Iblis (yang artinya),“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya
benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus“. (QS.
Al-A’raf [7]: 16). Bahkan, kalau kita teliti secara seksama ternyata
kemusyrikan hasil tipudaya iblis yang terjadi pada masa kita sekarang ini
justru lebih parah daripada kemusyrikan yang terjadi di
kalangan kaum musyrikin pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Benarkah demikian?
Dulu Dalam Hal Uluhiyyah Saja
Orang-orang musyrik yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah masyarakat yang memiliki keyakinan bahwa
Allah-lah satu-satunya Dzat Yang Maha mencipta, Maha pemberi rizki, dan bahwa
tidak ada yang mengatur segala urusan kecuali Allah Ta’ala saja,
serta seluruh langit dan bumi beserta segala isinya, semuanya adalah hamba-Nya
dan berada di bawah pengaturan dan kekuasaan-Nya. Inilah yang disebut dengan
istilah tauhidrububiyah.
Salah satu dalil yang menunjukkan hal itu adalah firman
Allah Ta’ala (yang artinya), “Katakanlah,’Kepunyaan
siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?’ Mereka (kaum
musyrikin) akan menjawab, ‘Kepunyaan Allah’. Katakanlah,
’Maka apakah kamu tidak ingat?’ Katakanlah, ’Siapakah yang memiliki
langit yang tujuh dan yang memiliki ‘Arsy yang besar?’ Mereka akan
menjawab, ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ’Maka
apakah kamu tidak bertakwa?’ Katakanlah, ’Siapakah yang di tangan-Nya
berada kekuasaan atas segala sesuatu sedang dia melindungi, tetapi tidak ada
yang dapat dilindungi dari (azab)-Nya, jika kamu mengetahui?’ Mereka akan
menjawab, ’Kepunyaan Allah’. Katakanlah, ’(Kalau
demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?’ ” (QS.
Al-Mu’minuun [23]: 84-89)
Demikianlah kondisi kaum musyrikin dahulu. Mereka tidak
pernah memiliki keyakinan bahwa Latta, Uzza, Manat, dan sesembahan mereka
lainnya adalah yang menciptakan, memberi rizki, atau yang menguasai alam
semesta ini. Mereka meyakini bahwa berhala pujaan mereka itu hanyalah [simbol]
hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih yang dijadikan sebagai
perantara dalam ibadah mereka kepada Allah Ta’ala.
Lalu bagaimana dengan kondisi kaum musyrikin pada zaman
sekarang? Maka akan kita jumpai kondisi yang lebih parah dari kaum musyrikin
pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena di
samping beribadah kepada selain Allah Ta’ala (kemusyrikan
dalam hal uluhiyyah), mereka juga menyekutukan Allah Ta’ala dalam
hal rububiyyah.Salah satu bukti yang menunjukkan kemusyrikan dalam
masalah rububiyyah adalah keyakinan sebagian masyarakat
tentang Nyi Roro Kidul sebagai “penguasa” laut selatan. Keyakinan ini dapat
dilihat dari “budaya” atau kebiasaan mereka ketika melakukan tumbal berupa
sembelihan kepala kerbau, kemudian di-larung (dilabuhkan) ke Laut
Selatan dengan keyakinan agar laut tersebut tidak ngamuk (“marah”).
Menurut keyakinan mereka, tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa Laut
Selatan yaitu jin Nyi Roro Kidul.
Padahal, menyembelih merupakan salah satu bentuk ibadah,
karena di dalamnya terkandung unsur ibadah; yaitu perendahan diri dan ketundukan.
Barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Allah maka dia telah jatuh
dalam perbuatan syirik akbar dan pelakunya keluar dari Islam.
Sehingga dalam kasus tersebut terjadi kemusyrikan dalam dua perkara
sekaligus. Pertama, dalam tauhid rububiyyah, karena
mereka meyakini adanya penguasa atau pengatur alam (yaitu Laut Selatan) selain
Allah Ta’ala. Kedua, dalam tauhid uluhiyyah, karena
mereka menujukan ibadah -penyembelihan- kepada Nyi Roro Kidul tersebut dengan
disertai pengagungan dan perendahan diri kepadanya.
Demikianlah realita sebagian umat Islam pada zaman sekarang.
Mereka tidak hanya menyekutukan Allah dalam haluluhiyyah saja,
namun mereka juga menyekutukan Allah dalam hal rububiyyah. Suatu
keadaan buruk yang tidak pernah kita jumpai pada kaum musyrikin di zaman
Rasulullah yang notabene “hanya” menyekutukan Allah Ta’ala dalamuluhiyyah-Nya
saja.
Dulu Di Waktu Lapang Saja
Realita kedua yang menunjukkan bahwa kondisi kemusyrikan
zaman sekarang lebih parah daripada kemusyrikan pada zaman Rasulullah adalah:
kemusyrikan zaman Rasulullah dahulu hanya terjadi ketika dalam kondisi lapang.
Adapun, kalau sedang ditimpa kesusahan, musibah, atau terancam bahaya, mereka
mengikhlaskan/memurnikan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala semata. Salah
satu bukti/dalil yang menunjukkan bahwa kemusyrikan orang musyrik jahiliyyah
hanya di waktu lapang saja adalah firman Allah Ta’ala (yang
artinya),“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah
(datangnya). Dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya
kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan. Kemudian apabila dia
telah menghilangkan kemudharatan itu dari kamu, tiba-tiba sebagian dari kamu
mempersekutukan Rabb-nya dengan (yang lain)”. (QS. An-Nahl [16]:
53-54)
Dengan merenungkan ayat tersebut dan ayat-ayat lain yang
semisal (QS. Yunus [10]: 22-23; QS. Al-Isra’ [17]: 67; QS. Al-‘Ankabuut [29]:
6; dan QS. Luqman [31]: 32), jelaslah bagi kita bahwa orang musyrik jahiliyyah
berbuat kemusyrikan hanya di waktu lapang. Namun, apabila apabila mereka sedang
tertimpa musibah atau terancam bahaya, mereka mengikhlaskan doa dan ibadah
mereka kepada Allah Ta’ala dan melupakan segala sesembahan selain
Allah.Mereka tidak menyeru atau berdoa kepada selain Allah Ta’ala, karena
mereka mengetahui bahwa tidak ada sesembahan yang dapat menyelamatkan mereka
dari bahaya tersebut kecuali Allah Ta’ala saja.
Berbeda dengan kaum musyrikin zaman sekarang, kemusyrikan
mereka terus-menerus berlangsung, baik dalam kondisi lapang maupun sempit.
Mereka tidak mengikhlaskan ibadah mereka kepada Allah Ta’ala, meskipun
sedang ditimpa kesempitan dan kesusahan. Bahkan, setiap kali kesusahan dan
kesempitan yang mereka alami semakin parah, semakin parah pula kemusyrikan yang
mereka lakukan; dengan mendatangi dukun, makam para wali dan orang shalih untuk
meminta kepada mereka agar dihilangkan musibah yang menimpa. Lihatlah, ketika
terjadi musibah meletusnya Gunung Merapi beberapa waktu yang lalu, dalam
kondisi kesusahan seperti itu, mereka justru menyembelih kerbau sebagai
persembahan (tumbal) kepada jin penunggu Gunung Merapi.
Oleh karena itu, tidak ragu lagi bahwa kemusyrikan zaman
sekarang ini lebih parah daripada kemusyrikan pada zaman dahulu. Karena orang
musyrik zaman sekarang berbuat kemusyrikan dalam dua keadaan (yaitu dalam
kondisi lapang dan sempit), sedangkan orang musyrik zaman dahulu hanya berbuat
syirik dalam satu keadaan saja (yaitu dalam kondisi lapang), dan mentauhidkan
Allah Ta’ala dalam kondisi sempit.
Sesembahan Dulu “Lebih Mending”
Kemusyrikan yang pertama kali terjadi di muka bumi ini
adalah kemusyrikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihis salaam. Kemusyrikan
tersebut terjadi karena sikap mereka yang ghuluw (berlebih-lebihan
dalam memuji) terhadap orang-orang shalih. Allah Ta’ala berfirman
(yang artinya), “Dan mereka berkata, ’Janganlah sekali-kali kamu
meninggalkan (penyembahan) terhadap tuhan-tuhan kamu dan jangan pula
sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) terhadap Wadd, dan jangan pula
Suwwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr’”. (QS. Nuh [71]: 23)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan
tentang sesembahan-sesembahan kaum Nuh dalam ayat di atas, “(Itu
adalah) nama-nama orang shalih di kalangan umat Nuh. Ketika mereka
meninggal, setan membisikkan kepada kaum Nuh untuk membuat patung-patung di
tempat-tempat mereka beribadah, serta menamai patung-patung tersebut dengan
nama-nama mereka. Kaum Nuh pun menuruti bisikan tersebut, namun patung tersebut
belum sampai disembah. Ketika kaum Nuh tersebut meninggal, dan hilanglah ilmu,
patung-patung itu pun akhirnya disembah” (HR. Bukhari)
Demikianlah, orang-orang musyrik pada zaman dahulu
menjadikan hamba-hamba Allah Ta’ala yang shalih, baik dari
kalangan para nabi, malaikat, atau pun wali sebagai sekutu bagi Allah Ta’ala.
Karena menurut persangkaan mereka, hamba-hamba Allah Ta’ala yang
shalih ini dapat mendekatkan diri mereka kepada Allah Ta’ala disebabkan
kedudukan mulia yang mereka miliki di sisi Allah Ta’ala. Sementara,
mereka merasa banyak berbuat dosa dan maksiat sehingga tidak pantas meminta
langsung kepada Allah, tetapi harus melalui perantara orang-orang shalih
tersebut.
Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah berkata,
”Orang-orang musyrik dahulu menyembah hamba-hamba Allah yang shalih dan dekat
di sisi Allah, baik dari kalangan nabi, wali, atau malaikat. Atau mereka
menyembah batu dan pohon, yang merupakan makhluk yang taat kepada Allah dan
tidak pernah bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan orang musyrik zaman
sekarang, mereka menyembah manusia yang paling bejat. Orang-orang
yang mereka sembah ternyata adalah orang-orang yang tidak bisa menjaga diri
mereka dari zina, mencuri, meninggalkan shalat, dan maksiat-maksiat lainnya.
Sehingga masyarakat yang memiliki keyakinan terhadap orang-orang shalih dan
makhluk yang tidak pernah bermaksiat (yaitu kaum musyrik zaman dahulu, pen.)
lebih ringan (kemusyrikannya) daripada masyarakat yang memiliki keyakinan
terhadap orang-orang yang fasik dan rusak (yaitu kaum musyrik zaman sekarang, pen.)”. (Lihat Kasyfu
Syubuhaat)
Marilah kita cocokkan perkataan beliau tersebut dengan
realita yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Saking parahnya keadaan
mereka, orang-orang yang telah mereka kenal sebagai orang suka berbuat maksiat
pun mereka sembah dan diharapkan berkahnya. Salah satu buktinya, banyaknya
orang yang “ngalap berkah” ke makam Pangeran Samudro dan Nyai
Ontrowulan di Gunung Kemukus, Sragen. Konon, mereka berdua adalah seorang anak
dan ibu tiri (permaisuri raja) dari kerajaan Majapahit yang berselingkuh (baca:
berzina) kemudian diusir dari kerajaan dan menetap di Gunung Kemukus hingga
meninggal dunia. Sebelum meninggal, Pangeran Samudro berpesan bahwa keinginan
peziarah makamnya akan terkabul jika mereka bersedia melakukan seperti apa yang
pernah dia lakukan bersama ibu tirinya (yaitu berzina). Sehingga sebagai syarat “mujarab” untuk
mendapatkan berkah di sana adalah harus dengan berzina terlebih dahulu. Inilah
salah satu sosok sesembahan orang musyrik zaman sekarang; yang ternyata adalah
seorang pezina (baca: pelaku dosa besar).Inna lillahi wa inna ilaihi
raji’un.
Inilah realita kemusyrikan pada zaman ini. Dari sisi ini,
kita dapat melihat bersama betapa orang-orang musyrik zaman dahulu lebih
berakal daripada orang-orang musyrik sekarang ini. Karena maraknya
bentuk-bentuk kemusyrikan dan samarnya hal tersebut, sudah seharusnya bagi
setiap kita untuk mempelajari ilmu tauhid agar dapat menghindarkan diri
sejauh-jauhnya dari segala bentuk kemusyrikan. Semoga Allah menjauhkan kita
dari kemusyrikan dengan segala bentuknya [dr. M. Saifudin Hakim*. Disarikan
dari buku penulis, “Saudaraku ... Mengapa Engkau Enggan Mengenal
Allah?”]
*Penulis adalah alumni Ma’had Al-‘Ilmi Yogyakarta dan
sekarang aktif mengajar di Ma’had Al-‘Ilmi Putri serta menyusun berbagai karya
di bidang aqidah/tauhid.
0 komentar:
Posting Komentar